
Kedudukan Lembaga Amil Zakat
KEDUDUKAN LEMBAGA AMIL ZAKAT
Al-Ahnaf dan Sufyan as-Saury berpendapat bahwa si pemilik harta lebih berhak memilih ashnaf mana yang akan diberikan zakat. Sementara Imam Syafi’i berpendapat bahwa kedelapan asnaf itu berserikat dalam harta, karena itu masing-masing mempunyai hak yang sama, tidak boleh ada yang tertinggal. Jika kita mengambil pemahaman dari kedua pendapat itu, jelas bahwa dalam hal kedudukan lembaga amil zakat dalam Islam, para ulama memiliki pandangan-pandangan yang berbeda. Al-Ahnaf dan Sufyan as-Saury menerangkan bahwa zakat lebih baik disalurkan oleh muzaki sehingga pemilihan ashnaf menjadi hak bagi si muzaki. Sementar pendapat Syafi’i, semua ashnaf tidak boleh satu pun tertinggal. Dengan kata lain, dikarenakan dalam ashnaf terdapat amilin, zakat mesti dihimpun dan diurus oleh amilin sehingga bagian amilin menjadi tersalurkan.
Terjadinya permasalahan seperti ini lantaran secara nash sendiri tidak ada ayat atau hadits yang secara eksplisit menyatakan harus, tidak boleh atau sunatnya hukum mengadakan amil dalam zakat. Pada zaman Rasulallah shallallahu 'alaihi wasallam, zakat merupakan harta yang dianjurkan untuk diambil oleh para shahabat yang diutusnya. Rasulallah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus para wakilnya untuk mengumpulkan zakat dari orang kaya dan membagikannya kepada para mustahiq. Pada zaman abu Bakar dan Umar Bin Khattab pun demikian, harta zakat, baik itu yang sifatnya dzahir (tanaman, buah-buahan, dan ternak) maupun harta bathin (harta emas, perak, perniagaan dan harta galian), semuanya mesti dihimpun dan dibagikan oleh amilin. Baru pada zaman khalifah Utsman, meskipun awalnya mengikuti jejak orang-orang sebelumnya, dikarenakan melimpahnya harta bathin ketimbang harta dzahir disamping banyaknya kaum muslimin yang gelisah dikala diadakan pemeriksaan serta pengawasan terhadap hartanya, keputusan untuk menyerahkan wewenang pelaksanaan zakat dari harta bathin kepada para muzaki pun diberlakukan.(Ibid) Dari semenjak ini tumbuhlah berbagai pemahaman dan pandangan mengenai keharusan zakat dikelola oleh amilin atau individu atau sebagian harta oleh individu dan sebagiannya harus oleh amilin.
Yang jelas dari permasalahan ini, kita dapat menilai kalau dalam penetapan masalah amilin terdapat lahan bagi para fuqaha juga cendikiawan Islam untuk berijtihad seperti yang telah dilakukan oleh shahabat dan Khulafa ar-Rasyidin, Utsman Bin Affan. Jika ibadah yang kita lakukan merasa lebih baik untuk disalurkan langsung oleh kita kepada mustahiqnya, dikarenakan situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan atau terancamnya keamanan ibadah zakat, maka hal itu diperbolehkan. Namun jika terdapat umara (pemimpin atau ulama) yang dapat dipercaya dan mentaati umara itu lebih utama, di samping terdapatnya kelebihan-kelebihan nilai yang dimiliki zakat jika disalurkan lewat amilin, maka tentu zakat lebih baik disalurkan lewat amilin. Sementara dalam teknis penghitungan jumlah harta serta zakatnya sendiri, banyak kebijakan dari para lembaga amilin yang memperbolehkan oleh muzaki sendiri atau dikerjakan oleh amilin.
Tinggalkan komentar Anda disini
Email Anda tidak akan kami publish. Form bertanda * harus diisi